Terbanyak Berkedok Hadiah, Modus Penipuan Digital di Indonesia

Rabu, 24 Agustus 2022 - 19:04 WIB
Ilustrasi (Ist)

RIAUMANDIRI.CO - Berdasarkan studi terbaru dari Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada (UGM) menunjukkan modus penipuan digital di Indonesia terbanyak berkedok hadiah.

"Pesan penipuan berkedok hadiah cenderung disampaikan secara massal. Selain itu, rendahnya kemampuan ekonomi calon korban menjadi celah penipu untuk melancarkan aksinya, dan modus pesan penipuan digital ini dapat terus berkembang," kata Ketua Tim Peneliti CfDS UGM Dr. Novi Kurnia dalam seminar web, dikutip dari Antaranews, Rabu (24/8/2022).

Berdasarkan riset yang dilakukan, dari 1.700 responden, 66,6 persen atau 1.132 orang pernah menjadi korban penipuan digital. Dengan penipuan berkedok hadiah 36,9 persen melalui jaringan seluler sebagai modus yang paling banyak memakan korban.

Dirincinya, terdapat 15 modus penipuan digital, beberapa di antaranya berkedok hadiah 91,2 persen, pinjaman online ilegal 74,8 persen, pengiriman tautan yang berisi malware/virus 65,2 persen hingga penipuan berkedok krisis keluarga 59,8 persen.

Novi mengatakan dari studi tersebut, terdapat setidaknya delapan medium penipuan digital, masing-masing medium memiliki karakter jenis pesan penipuan yang berbeda.

Medium-medium tersebut termasuk jaringan seluler seperti SMS/telepon (64,1 persen), media sosial (12,3 persen), aplikasi chat (9,1 persen), situs web (8,9 persen), surel (3,8 persen), lokapasar (0,8 persen), game (0,5 persen), dan dompet elektronik (0,4 persen).

Di sisi lain, lebih dari separuh responden (50,8 persen) yang menjadi korban penipuan menyatakan bahwa mereka tidak mengalami kerugian.

"Alasan korban menyatakan hal tersebut adalah mereka telah mengikhlaskan peristiwa itu sebagai bagian dari cobaan atau perjalanan hidup. Di samping itu, sebagian responden juga melihat kerugian dari aspek finansial saja," kata Novi.

Kerugian lainnya mencakup uang (15,2 persen), kerugian waktu (12 persen), perasaan seperti malu, sedih, kecewa, takut dan trauma (8,4 persen), kebocoran data pribadi (8,3 persen), kerugian barang (4,2 persen), lainnya (1,2 persen), kerugian fisik (0,3 persen).

Bicara soal laporan, 48,3 persen korban memilih untuk menceritakan kepada keluarga atau teman. Sementara ada yang tidak melakukan apa-apa (37,9 persen), menceritakan kepada warganet (5,3 persen), melaporkan pada media sosial atau platform digital lainnya (5 persen), dan melaporkan kepada kepolisian (1,8 persen).

"Seluruh pemangku kepentingan diharapkan dapat melakukan kolaborasi dan sinergi untuk menjawab harapan dan kebutuhan masyarakat agar terhindar dari penipuan digital," ujar Novi.

Dari studi tersebut, Novi mengatakan responden memiliki sejumlah rekomendasi penipuan digital. Dari sisi pencegahan, responden menginginkan adanya peningkatan sistem keamanan dan perlindungan data pribadi (98,1 persen), kepastian hukum bagi penanganan penipuan digital (98,1 persen), dan publikasi kasus terkini dan modus operandi penipuan digital (97,2 persen).

Lebih lanjut, edukasi atau pelatihan tentang keamanan digital (97 persen), ketersediaan situs web dan aplikasi dari pihak berwenang untuk bisa mengecek validitas penjual (96,7 persen), dan kampanye publik agar warga berhati-hati dan tips cara menghindari penipuan (95,9 persen).

Sementara dari sisi penanganan, responden menganggap sangat penting untuk pemberian hukuman setimpal bagi penipu dan kompensasi bagi korban oleh penipu (70,5 persen).

Disusul dengan rekomendasi profesionalitas aparat dalam membantu korban (69,4 persen); ketersediaan sistem pelaporan yang memudahkan korban melapor (65,8 persen), dan rekomendasi pendampingan/advokasi korban penipuan (59,3 persen). (*)

Editor: Syafril Amir

Tags

Terkini

Terpopuler